Adab I'tikaf dan Keutamaannya

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

“Bahwa Rasulullah ‘Alaihish sholaatu wassalam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan”. (HR. Bukhori no. 2025 dan Muslim no. 1171)

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha :

“Sesungguhnya Rasulullah ‘Alaihish sholaatu wassalam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hingga Allah mewafatkan beliau ‘Alaihish sholaatu wassalam. Kemudian istri-istri Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam beri'tikaf sepeninggal beliau ‘Alaihish sholaatu wassalam”. (HR. Bukhori no. 2026 dan Muslim no. 1172)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

“Bahwasanya Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam beri'tikaf selama sepuluh hari disetiap bulan Ramadhan. Pada tahun Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam wafat, beliau ‘Alaihish sholaatu wassalam beri'tikaf selama dua puluh hari”. (HR. Bukhori no. 2044)

Penjelasan Syaikh Muhammad Bin Sholih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkenaan dengan riwayat-riwayat diatas :

Definisi i'tikaf ialah tinggal didalam masjid dalam rangka melakukan amalan-amalan ketaatan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Amalan i'tikaf ini disyari'atkan untuk dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan. Karena sesungguhnya Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir, dan beliau juga pernah beri'tikaf selama sepuluh hari dipertengahan bulan Ramadhan, ini semua beliau ‘Alaihish sholaatu wassalam lakukan untuk mencari malam Lailatul Qodr. Dan kemudian sampai wahyu kepada beliau: “Sesungguhnya malam Lailatul Qodr ada disepuluh malam terakhir” , maka dengan sebab itulah Rasulullaah ‘Alaihish sholaatu wassalam menjadikan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sebagai momentum untuk beri'tikaf.

Maka dengan demikian telah kita ketahui bahwa tidak disyari'atkan melakukan i'tikaf diluar bulan Ramadhan. Namun ada dari sebagian Ulama yang berpendapat bahwa apabila seseorang pergi menuju masjid, hendaknya dia berniat untuk melakukan i'tikaf yakni tinggal didalamnya dengan kadar waktu tertentu. Ketahuilah, bahwa pernyataan tersebut tidaklah dibangun diatas dalil, karena sesungguhnya Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam tidaklah mensyari'atkan bagi ummatnya hal tersebut, t idak dengan pernyataannya dan tidak pula dengan perbuatannya. Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam tidak pernah menyatakan kepada ummatnya; “Apabila kalian masuk ke dalam masjid, maka niatkanlah untuk beri'tikaf diwaktu kapan saja” , dan juga tidaklah kita dapati dari perbuatan beliau yang berkenaan dengan amalan tersebut diatas. Sesungguhnya Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dibulan ramadhan untuk mencari malam Lailatul Qodr.

Hendaknya bagi orang yang beri'tikaf menyibukkan diri dengan melakukan amalan-amalan ketaatan, apakah dalam bentuk sholat, membaca Al Qur'an, berdzikir atau amalan-amalan yang semisalnya selain menuntut ilmu agama. Para Ulama berkata: “Tidak semestinya bagi orang yang beri'tikaf menyibukkan diri dengan menelaah ilmu agama, akan tetapi hendaknya dia melakukan ibadah-ibadah yang khusus, karena sesungguhnya pada waktu itu (i'tikaf) dikhususkan baginya beribadah dengan amalan-amalan ibadah yang khusus.

Dan tidak boleh bagi orang yang beri'tikaf keluar dari masjid kecuali jika memang diperlukan. Seperti keperluan makan dan minum, maka dia keluar untuk makan dan minum, atau keluar karena sesuatu yang dibutuhkan; seperti ingin mandi junub dan semisalnya. Atau keluar karena ingin sholat jum'at, berhubung masjid (di Indonesia dikenal dengan istilah Musholla, -red) yang dia tinggal padanya bukan termasuk masjid Jami' (masjid Jami' yakni masjid yang terdapat padanya pelaksanaan sholat jum'at, –red). Yang terpenting dia tidak keluar dari masjid kecuali dengan sebab dan alasan yang syar'i.

Kemudian yang perlu diperhatikan juga bagi orang yang beri'tikaf ialah apabila ada seseorang datang kepadanya dan ingin menyibukkan dirinya dengan pembicaraan yang tidak mengandung faidah., maka hendaknya dia katakan: “Wahai saudaraku, aku sedang beri'tikaf.. sebaiknya engkau menerangkan kepadaku tentang amalan-amalan ketaatan atau jika tidak, hendaknya engkau pergi menjauh dariku”. Sesungguhnya Allah tidak malu atas kebenaran.

Adapun berbincang-bincang dengan perbincangan yang ringan, maka yang demikian ini tidak mengapa. Karena sesungguhnya Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam pernah minta bertemu dengan istri-istrinya, dan Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam dalam keadaan sebagai orang yang sedang beri'tikaf, kemudian beliau ‘Alaihish sholaatu wassalam berbincang-bincang dengan istri-istrinya dan sebaliknya istri-istrinya juga berbincang-bincang dengan Nabi ‘Alaihish sholaatu wassalam. Wallahul Muwaffiq

Syaikh Muhammad Bin Sholih Al-'Utsaimin Rahimahullah
Syarh Riyadhus Sholihin - Kitabul I'tikaf
Penterjemah : Fikri Abul Hassan
0 Responses